Daun-daun kekuningan di hutan Pegunungan Menoreh. 29 Mei 2025.
“Maybe life is better without it (Instagram), focusing on real connections instead. Haha!” Kata Jamie, temanku dari Malaysia.
Jamie adalah salah satu teman yang aku dapatkan secara tidak sengaja saat aku melancong ke Malaysia, kita bertemu langsung secara tatap muka saat aku ikut kegiatan volunteering berkebun di TTDI Edible Garden, Taman Tun Dr Ismail, Kuala Lumpur. Terlepas dari apa kesukaan kami dan persona apa yang kami tampilkan di internet, aku dan Jamie banyak mengobrol tentang kegiatan berkebun dan berkomunitas. Sebelum berpamitan, aku hanya menunjukkan foto Pegunungan Menoreh yang sehari-hari aku lihat saat membawa tur sepeda—yang mana kadang sudah kuanggap hal yang biasa. Dia takjub karenanya. Setidaknya hanya ada waktu setengah hari aku mengobrol dengannya saat itu, namun dalam kurun waktu satu tahun ini, aku tahu bahwa Jamie adalah orang yang akan mengunggah kehidupannya di Instagram hanya satu-dua waktu saja dalam setahun. Dalam kurun waktu itu, dia langsung mengunggah setidaknya sepuluh postingan, dan dalam satu postingannya ada beberapa karosel foto. Ada foto lanskap kota saat senja, ada foto pegunungan di Tiongkok yang luar biasa luas, ada foto kucing yang sedang tidur pulas. Semua diunggah tanpa deskripsi yang panjang, hanya deskripsi waktu kapan dia mengambil foto itu.
Kalimat itu dikatakan oleh Jamie, saat aku bercerita kepadanya lewat email, dua bulan setelah kedatangan Jamie ke Indonesia karena ia penasaran dengan Pegunungan Menoreh yang aku perlihatkan lewat foto saat di Malaysia. Aku bercerita tentang akun Instagram-ku yang dinonaktifkan secara permanen oleh Meta pada awal bulan Maret lalu. Tidak ada alasan yang tepat bagi mereka untuk menonaktifkan Instagramku secara paksa. Itu terjadi tiba-tiba saja di sore hari pada minggu pertama bulan puasa.
Bisa mungkin ini adalah salah satu kehilangan terbesar yang pernah aku alami. Instagram jadi salah satu pelantar untukku membagikan cerita-cerita yang aku rangkai dalam hidup, pun juga jadi wadah utama dalam menuangkan foto-foto yang aku ciptakan. Memang diriku tak bisa seperti Jamie yang hanya mengunggah setahun sekali. Aku sedang dilanda dilema, padahal aku berniat membuka blog baru ini untuk menggantikan Instagramku yang penuh dengan riuh kehidupan, lagipula tak jarang juga aku menonaktifkan Instagram atas kemauanku sendiri, karena ada selalu ada hari-hari di mana aku tidak ingin dilihat oleh siapapun—dan tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Namun saat (Instagram) itu hilang, ternyata sulit juga merelakannya.
“Wah, sayang sekali ya, padahal untuk pekerjaanmu.” Ucap banyak teman.
Kadang orang tak tahu, kalau apa yang aku sayangkan bukanlah portofolio pekerjaan yang pernah aku unggah. Lagipula jarang juga aku mengandalkan Instagram sebagai media untuk mempromosikan pekerjaan. Walau tak jarang pula, banyak sekali kesempatan hidup yang aku dapatkan dari sana. Mulai berkenalan dengan manusia-manusia hebat, sampai karyaku dilihat oleh mereka.
Pertunjukan Gardika Gigih di Goethe Institute, Lanskap Jakarta saat sore, Temanku Nanda dan Ayu. Februari 2025.
Sebelum akunku dinonaktifkan, di Bulan Februari, aku sempat pergi ke Jakarta untuk berganti suasana dan bertemu sahabatku, sembari melakukan phototrip agar perjalanan ini tak terlalu boros. Aku mengunggah pengumuman di Instastory yang berisi pemberitahuan bahwa aku membuka beberapa slot waktu untuk sesi foto. Dalam enam slot yang aku sediakan, ada lima yang terisi. Sudah cukup untuk mengganti tiket kereta pergi-pulang dan makan selama sepuluh hari, pikirku. Cabut perkataanku soal tidak ingin mengandalkan Instagram untuk pekerjaan tadi.
Jika orang Jakarta tertawa saat aku berkata aku ingin berlibur ke sana, dalam hati aku tertawa bahwa mereka tidak bisa lagi melihat kota yang penuh dengan aksesibilitas yang tinggi, transportasi yang terintegrasi, dan hiburan tiada henti itu dengan kacamata keistimewaan. Dan memang tidak bisa, sih, bagi sebagian orang yang pernah terpukul olehnya. Aku sepenuhnya paham. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, memang. Dalam kurun waktu lebih dari lima puluh persen kehidupanku, kuhabiskan untuk hidup di desa, makanya kehidupkan kota selalu menarik untukku. Sebagai pengganti suasana, sebagai alat pengikut arus, juga sebagai pembelajaran hal baru. Manusia di sana tak ada hentinya memberiku bensin untuk semangat melawan dunia. Mungkin itu yang kucari, manusianya!
Sesi foto Ratu Vienny dan Ibnu Dian saat aku di Jakarta. Difoto oleh Deby Lukmawati.
Mungkin sebenarnya wadah ini (Instagram) lebih dari sekedar pekerjaan, makin lama makin larut, Instagram adalah suatu tempat bagiku untuk mengenal diriku sendiri. Bagaimana proses bertahun-tahun itu tumbuh bersama dengan aku membagikan apa yang aku suka, sampai aku bertemu dengan versi terbaik diriku.
Sepekan setelah Instagram hilang, aku mengunggah sebuah cuitan di Twitter (lagi-lagi aku tidak mau menyebutnya X):
Ketika aku dilanda ketidakterhubungan dengan segala sesuatu yang sudah lama menghubungkan diriku dengan orang-orang, aku merasa harus berdamai dengan ketidakterhubungan itu mencari hubungan lain yang lebih bermakna. Namun sebaik apapun hubungan, mungkin sadar banyak kemungkinan bisa terjadi kerapuhan. Kadang manusia hanya perlu bersiap.
Dan dari ketidakterhubungan itu, muncul lah kerelaan akan ketidaktahuan karena tidak mengikuti arus. Katanya sih, lebih baik tidak tahu ketimbang banyak tahu tapi melukai diri sendiri. Sama seperti halnya langkah preventifku dengan kadang menonaktifkan segala keterhubungan dalam jaringan atas kemauan diriku sendiri. Ketika saat aku butuh ruang untuk diriku sendiri, secara tak langsung mekanisme bertahan dalam diriku mendorong untuk memutus segala interaksi agar aku bisa berbicara dengan diriku sendiri pada waktu itu. Tapi kalau dipaksa tidak terhubung begini (dengan akunku dinonaktifkan secara sepihak), aku tidak suka.
Secara tak langsung, media sosial meruntuhkan batasan-batasan atas interaksi dari waktu ke waktu. Jikalau aku meminjam kalimat dari Kotler, penulis buku pemasaran yang lihai, ia berkata kalau media sosial membuat apa yang eksklusif menjadi inklusif, apa yang individual menjadi sosial, apa yang vertikal menjadi horizontal. Segala informasi yang diunggah oleh orang-orang sudah menjadi berita harian bagiku, banyak informasi baru yang aku dapatkan dari orang-orang yang berteman di pelantar media sosial. Ada yang berbagi kehidupan pribadinya yang seru, ada yang berbagi kehidupan komunitasnya, ada yang tak sengaja berinteraksi bahkan menemukan kasih sayang. Aku melihat orang-orang sekitarku adalah jurnalis terbaik yang membawaku melihat dunia sementah mungkin dan sebenar mungkin. Informasi kadang bisa menciptakan arus atau ritme kehidupan, hingga kita tahu kemungkinan apa yang akan kita lakukan di hari esok. Maka darinya saat itu hilang, aku merasa bahwa ritme kehidupanku sedikit berubah. Bagi seseorang yang suka berbagi cerita di media sosial, yang mana sudah menjadi ritme kehidupanku, aku jadi bingung harus ke mana dan kapan aku akan bercerita jika ruang itu hilang (lagi-lagi melupakan blog ini, hehe).
Ketika aku kehilangan arus dan arah, aku merasa harus memulai dari awal. Namun, aku selalu percaya bahwa waktu berjalan sesuai apa yang sedang kita upayakan hari ini dan kedepannya, yang mana tak ada garis mutlak di mana kamu harus melakukan sesuatu di umur tertentu, dan tidak ada batas yang jelas kapan kamu harus berhenti. Dan saat ketika ada waktunya kamu harus memulai dari awal, waktu yang baru akan terbit mengiringi perlahan bersama langkah kaki yang kamu mulai.
Tentu saja, karena Instagramku sudah hilang, aku merasa harus memulai dari awal. Apa yang sudah aku tanam selama satu dekade lebih, aku harus menanamnya lagi sedari bibit. Bisa jadi mungkin aku butuh lebih banyak air untuk menyirami, atau mungkin butuh lebih banyak waktu yang aku sampingkan untuk memperhatikan apakah tanamanku tumbuh baik. Namun pada akhirnya, tidak aku pikirkan sama sekali. Serahkan semua, pada nasib, pada arus.
Apa yang dilihat saat aku bersepeda. Sawah-sawah saat setelah panen.
Ada satu temanku berkata, kalau suatu cerita juga butuh pendengar. Saat aku merasa Instagram adalah platform terbesarku untuk berbagi—di mana ada banyak potensi pendengar di sana, aku jadi merasa tidak ada yang akan mendengarkanku saat platform itu hilang. Tapi dalam waktu satu bulan aku merefleksikan itu, aku jadi lebih terpikir bahwa tidak semua orang harus mendengarkanku. Begitu pula diriku yang terkadang ada masa di mana tidak mau mendengarkan orang-orang, dan tidak mau mengetahui apapun. Apa yang aku rasakan ini menjadi sebuah demotivasi—yang mana dirimu tahu—sudah hampir empat bulan lamanya aku tidak menulis kembali di blog ini. Padahal, pada awalnya, aku ingin lebih sering bercerita, setidaknya dua minggu sekali. Namun, selalu ada hal yang tidak bisa kuprediksi dalam kehidupan. Sebaik-baiknya aku menyusun rencana, sebaik apapun bersiap akan hal-hal yang aku merasa bisa melewatinya, tetap saja hidup bak gunung berapi yang bisa meluap kapan saja. Manusia memang ahlinya berencana, bukan? Selebihnya, apa yang kita bisa? Tapi hingga hari ini ditulis (4 Juni 2025), semua sudah terkendali. Ada banyak hal-hal baik pula yang terjadi selama aku berdamai ketidakterhubungan itu. Entah diriku yang jadi semakin banyak berjalan kaki, atau tetiba ada banyak waktu untuk bertemu teman, lebih banyak kerumitan terselesaikan, dan lebih jauh diriku melangkah. Biar kuceritakan tentang itu.
“Selamat 16 Mei seangkasa!”
“Wishing u all the best.
I know by the time this messages sent u will be somewhere offline but that’s totally fine.”
Tentang ketidakterhubungan itu, aku selalu ada ritual di mana aku tidak ingin ada seorangpun mengganggu di hari ulang tahunku. Kadang aku menonaktifkan ponsel, kadang aku hanya akan menghidupkan mode ‘Jangan Ganggu’. Aku ingat ketika aku berkontemplasi saat setelah selesai high season di penghujung Mei tahun lalu, aku merasa bahwa banyak dari waktuku kuhabiskan untuk orang lain. Maka darinya, hari lahir adalah waktu yang kupikir sebaiknya kuberikan untuk diri sendiri. Tak ada yang spesial dari Mei kemarin, hanya merayakan hari lahir dengan hening di rumah. Mengepel lantai, mengelap meja, merapikan barang-barang. Terpenting berikan waktu di hari lahir untuk diri sendiri, pikirku. Ketika aku menyadari ketidakterhubungan ini bisa jadi salah satu cara untuk kembali ke diriku sendiri, aku mulai lebih sering melakukannya—bahkan tak harus di hari-hari spesial.
Jeda menurutku suatu berkah yang ajaib. Dari jeda, aku berpikir untuk membuat sebuah bisnis tur sepeda yang mana sekarang menjadi kehidupanku sehari-harinya. Dari jeda, ada banyak sekali foto-foto bagus yang aku ciptakan. Jeda yang berkesinambungan dengan ketidakterhubungan ini bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan saat manusia ada di tengah kebuntuan. Aku pernah membaca suatu teori, aku menemukannya di diskursus Kaskus dulu, di mana ada yang disebut sebagai Default Mode Network atau kita sebut saja DMN. Sebuah neurosains. Dalam kondisi jeda atau ketidakterhubungan secara sengaja (istirahat) dari tugas-tugas yang menuntut fokus, otak manusia mengaktifkan DMN yang berkaitan dengan refleksi diri, imajinasi, perencanaan masa depan, hingga ingatan masa lalu. Artinya jika diriku tidak aktif secara sadar, justru otakku akan bekerja dengan sebegitu ajaibnya. Bisa lebih kreatif, muncul ide-ide liar yang baru, juga solusi dari kebuntuan hidup. Atau jika dirimu pernah membaca tentang Negative Capability dari seorang penyair Inggris, John Keats, tentang kemampuan untuk tetap berada dalam ketidakpastian dan tidak langsung mencari kepastian, karena dalam dunia yang penuh tuntutan produktivitas ini, kemampuan untuk diam, menunggu, dan tidak buru-buru justru bisa menjadi sumber kekuatan. Betapa luar biasanya Tuhan menciptakan manusia dengan segala kemampuannya dalam menembus batas. Gunakan saja semua tulisan ini sebagai tamengmu saat dirimu dilanda ketidakterhubungan, ketidakpastian, rasa ingin jeda, dan rasa lelah, ya.
Almarhum Gunawan Maryanto (Mas Cindhil) juga pernah menulis puisi tentang momen-momen singkat namun penuh makna dalam kehidupan, ia beri nama ‘Jeda yang Ajaib’. Puisinya menggunakan bahasa yang metaforis untuk mengeksplorasi ruang-ruang dalam diri yang berkaitan dengan kesempatan, ingatan, dan cinta dalam momen-momen yang tiba-tiba hadir dan menghilang. Maka darinya tulisan ini kubuat dengan judul yang hampir sama. “Untuk jeda yang tiba-tiba, cerita cinta bisa jadi apa saja” tulisnya. Barangkali hanya waktu sekarang ini yang kita punya?
Rerumputan sawah yang sering ku lihat saat bersepeda atau jalan kaki. Mereka bergoyang merayu dengan indah.
Bisa jadi benar, karena jika ditarik ke belakang, di tahun 2015, saat aku masih berada dalam dunia pemrograman, di mana saat itu aku rajin membuat coding untuk sebuah aplikasi, mengembangkan pemrograman website, hingga membuat game, aku membuat berbagai pemrograman yang mana membutuhkan banyak sekali waktu dan ketelitian, karena jika suatu program eror, maka harus ditelisik secara dalam di bagian mana yang mana mungkin aku kepencet huruf lain tak sengaja, hahahaha. Aku jarang bercerita soal ini ke orang lain karena aku sudah benar-benar melupakan semua itu. Pada saat itu, cara untuk keluar dari rasa suntuk adalah dengan pergi ke perpustakaan. Aku lebih banyak membaca majalah-majalah foto dan buku-buku desain karena di sisi lain—selain memang sudah tertarik dengan hal-hal visual—membaca buku foto dan desain terasa lebih singkat dan menyenangkan. Sebut saja saat itu sedang malas membaca banyak teks. Ketertarikan diriku akan fotografi jadi meningkat ke arah yang lebih profesional karenanya—yang mana pada saat itu, tidak sengaja membawaku ke Jepang di tahun 2018 karena dibalut dengan kemampuan komunikasiku juga yang kupelajari di bangku kuliah.
Di penghujung tahun 2021, ketika aku mulai kehilangan arah dengan fotografi dan aku merasa bahwa membawa kamera bukan lagi suatu kebahagiaan, aku memutuskan untuk rehat pelan-pelan. Pekerjaan-pekerjaan fotografi tetap ada, namun tak ada hasrat dariku untuk melakukannya dengan menyenangkan—seperti membuat karya foto sendiri. Sebulan setelah tahun berganti, aku menghabiskan banyak sekali waktu untuk melamun dan memikirkan apa lagi upaya hidup yang mungkin bisa kulakukan. Ketika bersepeda dan jalan kaki di desa, aku menemukan banyak sekali hal-hal kecil yang diriku tak henti-hentinya takjub. Daun-daun pohon yang menari dengan indah, cahaya matari yang ajaib menembus-menembus melewatinya, angin sejuk yang lembut, semua yang dilihat mata dan kurasakan di kulit begitu indah, seolah mereka ingin berkata padaku bahwa tidak apa-apa melambat sejenak, atau mungkin sengaja pamer betapa istimewanya mereka. Maka darinya, aku membuat tur jalan kaki dan tur sepeda di pertengahan 2022, sepuluh hari setelah ulang tahunku. Harapannya, aku ingin orang lain ikut merasakan keajaiban ini, atau mungkin aku ingin menyediakan ruang untuk orang-orang menepi—sembari mereka belajar hal baru—pula diriku ingin belajar dari orang-orang yang datang.
Ketika tahun 2024 aku memutuskan untuk kembali menikmati fotografi, betapa anehnya aku merasa fotografi adalah upaya yang therapeutic dan menyenangkan. Tak ada lagi rasa khawatir atau bingung saat aku memegang kamera, yang ada, aku hanya ingin memotret apapun yang aku lihat dan menikmatinya. Semuanya mengalir dengan santai. Bisa jadi, pertemuan-pertemuan diriku dengan banyak orang saat bersepeda malah menjadi caraku untuk belajar merasa dan belajar mengamati. Ketika menyadarinya, aku merasa bahwa fotografi membutuhkan pengamatan yang dalam dan kepedulian terhadap apa yang ada di sekitar kita. Bukan lagi teknis atau angle saat pengambilan gambar, tapi apa yang kamu tanam dalam kehidupan, akan berpengaruh kepada caramu melihat. Dalam hal ini, dengan fotografi lah aku melihat dunia.
Pegunungan Menoreh dari atas. Sore hari, 29 Mei 2025.
Dan ternyata, suatu jeda, suatu ketidakterhubungan, suatu momen-momen istirahat, bisa menjadi keajaiban yang tidak akan kita kira. Kita hidup dalam dunia yang terus mengajak kita untuk selalu terhubung—dengan pekerjaan, notifikasi, ekspektasi orang lain, bahkan pencapaian-pencapaian yang sebenarnya tidak selalu kita inginkan. Tapi tubuh dan jiwa manusia memiliki mekanismenya sendiri: saat terlalu penuh, ia akan mencari jalan pulang. Dan seringkali jalan pulang itu bernama jeda. Dalam heningnya jeda atau ketidakterhubungan, tidak ada hal lain yang bisa kita dengar selain suara diri sendiri.
Pada April, akhirnya Instagramku sudah kembali berkat saran dari teman. Dan ketika diriku sudah melepaskan dan berdamai dengan ketidakterhubungan, sudah siap tidak mengikuti arus, apa yang memang sudah takdirnya untukku akhirnya kembali juga. Hal-hal yang aku temukan saat jeda, membuatku merasa bahwa itu adalah momen di mana aku bisa menuangkan segala kerapuhan, momen di mana aku bisa nyaman dengan diriku sendiri. Mungkin, bisa kusebut sebagai rumah? Karena ketidakterhubungan ini artinya pulang ke diriku sendiri. Dan rumah, adalah suatu ruang yang memenuhi itu. Di Instagram, aku membuat sebuah sorotan yang mana isinya momen-momen di mana aku merasa aku pulang. Kuberi nama ‘home’. Kamu bisa mampir jika ingin melihat lebih dalam ketidakterhubungan yang aku maksud.
Kalau dirimu, adakah momen ketidakterhubungan itu?
seperti postingan sebelumnya, mas rimi ini memang sudah cocok untuk menulis sebuah buku, atau kumpulan cerpen? hehehe... gaya tulisannya membuatku nyaman hingga tiap katanya ga kulewati sama sekali, padahal di era serba pendek ini, biasanya aku selalu buru-buru berpindah, tapi membaca tulisanmu, tidak sama sekali. Padahal panjang, tapi kubaca sekali duduk, tanpa jeda ke tab browser lainnya.
Menarik nih, makin kesini, makin aku menemukan lagi persamaan sama mas Rimi. di tulisan ini, aku baru tahu kalo mas Rimi dulunya programmer, yang mana akupun seorang lulusan tek.informatika yg pernah bergelut dengan PHP HTML CSS tapi ga lama, lalu akupun mulai pindah ke hal-hal berbau visual karena memang terasa lebih mudah (yg nyatanya ga semudah itu juga).
Lalu, akupun orang desa yg mungkin lebih ndeso daripada mas Rimi... bahwa minggu lalu, aku ke Jakarta, PP dalam sehari, untuk yg pertama kalinya sejak SMA, aku merasa degdegan, excited, dan terpana dengan gedung-gedung tinggi di pusat. Saat itu aku merasa prestisius hanya dengan pergi kesana sendiri, hahaha... oh my, di umurku yg segini, ckckck.
lalu, soal momen ketidakterhubungan... hmm, mungkin, saat ini, 2 bulan terakhir ini, setelah aku balik tinggal di Garut (karena selepas jobless ga mampu bayar sewa rumah kontrakan lagi), yg uniknya, setelah pindah malah jadi ada aja job foto setidaknya seminggu sekali di Bdg... Aku jadi sering bulak balik Bdg-Garut.
Nah, di 2 bulan terakhir, sering bolak baliknya ini, lama-lama membuatku merasa tidak terhubung atau tepatnya, aku merasa kehilangan tempat bernama rumah.
Sebentar di Garut, sebentar di Bandung.
Kupikir, traveling dan berpindah-pindah itu sangat bagus karena kita bisa melihat banyak hal, belajar sesuatu yg baru, mengenal banyak manusia baru, meluaskan how we see things... tapi disisi lain, sepertinya manusia juga butuh satu tempat tetap yg bisa dibubuhkan kalimat "aku mau pulang dulu..."
dan sepertinya aku sedang ada dalam momen ambigu diantara "tempatku pulang itu yg mana?" atau "aku bisa pulang ke kedua tempat ini"
yak.. mungkin begitulah.
Yeay, akhirnya bisa baca postingan mas Rimi yg hangat ini untuk kedua kalinya, semoga tulisan berikutnya ga selama seperti sebelumnya, hehe...
Keren mas,
Tidak menyangka menulis 1054 kata 5676 huruf membutuhkan waktu 4 bulan, kayaknya njenengan ga pernah setengah" dalam ngerjain sesuatu 👍🏼
Kapan bisa ngopi bareng mas 😁
Pengen belajar banyak hal, penasaran apakah pernah gagal dalam melakukan sesuatu?